Tuberkulosis lebih banyak menyebabkan
kematian di seluruh dunia dibandingkan dengan infeksi lain. Kebanyakan infeksi
muncul di daerah tropis tetapi jumlah penderita meningkat di Eropa dan Amerika
Serikat, sebagai akibat dari kasus-kasus yang terjadi pada orang yang kurang
mampu, pada para tunawisma, dan pada penderita HIV. Pandemi HIV telah
menyebabkan peningkatan jumlah kasus secara global, terutama di daerah Afrika
sub-Sahara.
Saat
ini Indonesia menepati urutan ke 5 terbesar dunia untuk kasus TB paru setelah
India, Cina, Nigeria dan Aftika Selatan. Diperkirakan jumlah pasen TB di
Indonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. (Wikipedia, 2015)
Tuberkulosis adalah penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama di paru atau di
berbagai organ tubuh yang lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang
tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membran
selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam dan
pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan lambat. Bakteri ini tidak tahan
terhadap ultraviolet, karena itu penularannya terutama terjadi pada malam hari.
Tanda-tanda klinis dari tuberkulosis adalah terdapatnya
keluhan-keluhan berupa : batuk, sputum mukoid, nyeri dada, hemoptisis, dispne,
demam dan berkeringat terutama pada malam hari, berat badan berkurang,
anoreksia, malaise, ronki basah di apeks paru serta wheezing (mengi) yang
terlokalisir.
Pasien yang terdiagnosa TB akan mendapatkan perawatan dan
terapi OAT selama 6-8 bulan. Pertimbangan untuk dilakukannya perawatan adalah
hanya terbatas pada suatu keadaan yang darurat saja, seperti misalnya batuk
darah atau sesak napas yang berat. Pertimbangan yang lainnya adalah
pertimbangan epidomologi dimana pasien harus dirawat selama BTA (basil tahan
asam) masih ditemukan dalam biakan atau sputum.
Dari semua jenis obat anti tuberkulosis seperti
isoniazid, rifampisin dan etambutol memiliki efek samping yang serius yaitu
menyebabkan hepatotoksik.
Pada sekitar 10% orang dewasa yang
diobati dengan isoniazid, terjadi peningkatan kadar aminotransferase serum
selama beberapa minggu pertama pengobatan; hal ini tampaknya merupakan respons
adaptif terhadap metabolit toksik obat ini. Kadar ini (biasanya <200 unit)
akan kembali ke normal dalam beberapa minggu dengan atau tanpa penghentian
isoniazid. Pada sekitar 1% pasien yang diobati, timbul penyakit yang tidak
dapat dibedakan dari hepatitis virus; sekitar separuh dari kasus ini terjadi
dalam 2 bulan pertama pengobatan, sementara pada sisanya gejala klinis baru
muncul beberapa bulan kemudian. (Longo dan Fauci 2010:343)
Berdasarkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalteng jumlah
kasus TB Paru pada tahun 2012 di Kalimantan Tengah sebesar 1.522 kasus. Terjadi
penurunan jumlah kasus bila dibandingan dengan kasus tahun 2011 sebesar 2.668
kasus. Dari kasus tersebut 94,35% merupakan kasus baru dengan prevalensi 62,9
per 100.000 penduduk dan jumlah kematian 16 dan kematian per 100.000 penduduk
0,7. Jumlah perkiraan kasus baru pada tahun 2012 sebesar 4796 kasus dan 29,7%
merupakan TB Paru BTA Positif. Angka ini masih rendah dibandingkan dengan
target 70%. Dibandingkan tahun 2011 Angka penemuan kasus meningkat CDR 28,28%.
Penemuan TB Paru masih rendah disamping masih kurangnya tenaga yang terlatih
juga masih terbatasnya dana operasional penemuan kasus. Angka rata-rata keberhasilan
Tahun 2012 sebesar 91,88 meningkat dibandingkan tahun 2011 sebesar 87,02%.
Pada tahun
2013 jumlah kasus TB paru di RSUD dr. Doris Sylvanus dengan rawat jalan sebesar
568 kasus positif BTA tanpa biakan, sedangkan untuk kasus TB paru dengan rawat
inap sebesar 441 kasus positif BTA tanpa biakan. Pada tahun 2014 terjadi
peningkatan kasus TB paru di bagian rawat jalan dan penurunan kasus di bagian
rawat inap. Data menunjukkan pada tahun 2014 kasus TB paru positif BTA tanpa
biakan di rawat jalan sebesar 720 kasus dan 314 kasus di rawat inap.
Berdasarkan
data-data di atas, kasus TB paru di Provinsi Kalimantan Tengah masih relatif tinggi, hal ini menyebabkan penggunaan obat
anti tuberkulosis tentu saja meningkat. Untuk itu, pemantauan faal hati secara
berkala bagi para pasien terapi perlu dilakukan, untuk meminimalisir
kemungkinan ketidakcocokan pasien dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis.
Berdasarkan hasil penelitian kadar AST dan ALT pada
pasien terapi OAT di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dari tanggal 4 Juni
– 17 Juni 2015 diperoleh data hasil pemeriksaan dari 36 sampel. Data menunjukkan
dari 36 sampel, diperoleh kadar AST normal sebanyak 13 sampel dan 23 sampel
melebihi nilai normal. Sedangkan untuk hasil pemeriksaan ALT diperoleh hasil
normal yaitu 32 sampel dan yang melebihi normal sebanyak 4 sampel. Untuk lebih
rinci dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data hasil pemeriksaan enzim AST dan ALT
Jenis Kelamin
|
Jumlah Sampel
|
AST
|
ALT
|
||
Normal
|
> Normal
|
Normal
|
> Normal
|
||
Laki - Laki
|
27
|
10
|
17
|
23
|
4
|
Perempuan
|
9
|
3
|
6
|
9
|
0
|
Jumlah Sampel
|
36
|
36
|
36
|
Grafik
4.1 Gambaran hasil pemeriksaan enzim AST
Dari
grafik hasil pemeriksaan AST di atas dapat dilihat perbandingan antara hasil
pemeriksaan kadar AST yang normal dan yang melebihi normal. Terdapat 13 sampel
normal (10 orang laki-laki dan 3 orang perempuan) dan 23 sampel melebihi normal
(17 orang laki-laki dan 6 orang perempuan).
Grafik 4.2 Gambaran hasil pemeriksaan enzim ALT
Sedangkan untuk hasil dari pemeriksaan ALT dapat
dilihat pula perbandingan antara hasil yang normal dan yang melebihi normal.
Sebanyak 32 sampel dapat dikatakan normal (laki-laki 23 orang dan perempuan 9 orang)
dan hanya 4 sampel yang melebihi normal (laki-laki 4 orang dan perempuan 0 orang).
Untuk persentase hasil pemeriksaan AST dan
ALT dapat dilihat pada gambar 4.1 dan 4.2.
Gambar 4.1
Gambar
4.2
Dari gambar di atas untuk pemeriksaan AST dari 36
sampel, 63% sampel nilai AST nya melebihi normal dan 37% sampel normal.
Sedangkan untuk pemeriksaan ALT 15% melebihi normal dan 85 % normal.
Pada penelitian ini sampel yang benar-benar normal
baik kadar AST maupun ALT nya hanya 13 sampel (10 orang laki-laki dan 3 orang perempuan).
Sedangkan untuk yang melebihi normal baik kadar enzim AST maupun ALT nya
terdapat 4 sampel, yang dimana ke empat sampel adalah sampel dari pasien
laki-laki.
Pada
penelitian ini didapatkan hasil yang beragam. Dari 36 sampel, 13 sampel normal
untuk pemeriksaan AST dan 23 lainnya melebihi normal, sedangkan untuk ALT
terdapat 32 sampel normal dan 4 sampel lainnya melebihi normal. Pada
pemeriksaan AST dan ALT, sampel yang digunakan adalah sampel dari pasien yang
sama. Dari ke 36 sampel, yang diperiksa adalah kadar AST maupun ALT nya, jadi
setiap sampel pasien mendapat dua pemeriksaan. Pada hasil pemeriksaan dapat
disimpulkan apabila AST melebihi nilai normal, maka ALT belum tentu melebihi
normal. Namun jika ALT melebihi normal, maka dapat dipastikan AST pun juga
melebihi normal.
Kenaikan
AST maupun ALT kemungkinan dipengaruhi banyak faktor, sepert : usia lanjut, jenis
kelamin, status nutrisi buruk, alcohol, punya penyakit dasar hati, karier HBV,
TBC MDR, pemakaian obat tidak sesuai aturan dan juga faktor genetik. Sudah
diketahui sebelumnya bahwa AST mrupakan enzim yang tidak spsesfik untuk hati
karena enzim ini juga terdapat di organ lain seperti jantung dalam kadar yang
tidak sedikit. Sehingga bisa saja peningkatan enzim AST terjadi karena terdapat
kerusakan pada organ lain seperti jantung, ginjal ataupun otot rangka.
Sedangkan ALT merupakan enzim yang memang spesifik untuk kerusakan hati. Pada
penelitian ini terdapat 4 sampel yang nilai ALT nya melebihi normal.
Penggunaan
Obat Anti Tuberkulosis memungkinkan menyebabkan hepatotoksik, spesifiknya
menyebabkan jejas hepatosit. Maka dari itu pada penelitian kali ini parameter
yang diperiksa adalah Amonitransferase yaitu Aspartat Aminotransferase dan
Alanin Aminotransferase.
Pada
empat sampel yang mengalami penigkatan ALT mungkin saja peningkatan ini
dipengaruhi faktor lain dan bukan karena
imbas Obat Anti Tuberkulosis. Empat sampel yang terjadi peningkatan merupakan
berjenis kelamin laki-laki dan berusia >45 tahun. Namun masih banyak sampel
lain yang berusia >45 tahun yang kadar ALT nya masih normal. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor usia tidak berpengaruh dalam penelitian ini.
Selanjutnya
untuk penyakit hepatitis akibat virus dari ke 4 sampel tidak ditemukan adanya
HBSAg yang positif. Hal ini menandakan peningkatan ALT bukan karena infeksi
virus.
Pada
penelitian ini, peneliti tidak bisa menyimpulkan bahwa peningkatan AST dan ALT
hingga 4 kali yang terjadi pada salah satu sampel adalah menandakan telah
terjadi kerusakan hati. Kenaikan ini kemungkinan adalah efek dari penggunaan
obat pada minggu awal terapi yang
nantinya kadar AST dan ALT akan kembali normal setelah beberapa minggu.
Sedangkan untuk tiga sampel lainnya terjadi peningkatan yang tidak sampai 2
kali nilai normal. Peningkatan yang terjadi tidak sampai 2 kali nilai normal
dimungkinkan akibat pasien meminum OAT sebelum pemeriksaan dilakukan.
Pemeriksaan
lanjutan AST dan ALT setelah 2-3 minggu setelah pemeriksaan pertama serta pemeriksaan
lain seperti alkali fosfatase dan bilirubin perlu dilakukan untuk memastikan
bahwa peningkatan aminotransferase terjadi memang karena imbas obat yang
digunakan dalam terapi dan berakibat menyebabakan kerusakan hati. Selain itu,
mengetahui gejala-gejala klinis pada pasien yang mengalami peningkatan
aminotransferase juga dapat membantu dalam penegakkan diagnosis.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hasil
pemeriksaan kadar AST dan ALT pada pasien TB paru dengan terapi OAT di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dari
tanggal 4 Juni – 17 Juni 2015 dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hasil pemeriksaan
AST normal adalah 37% dan
63%
melebihi nilai normal yang
dimungkinkan akibat dari mengkonsusmsi OAT sebelum pemeriksaan dilakukan.
2.
Hasil
pemeriksaan ALT normal sebanyak 85% dan 15% melebihi
normal yang dimungkinkan akibat dari mengkonsusmsi OAT sebelum pemeriksaan
dilakukan dan peningkatan yang hingga 4 kali nilai normal adalah efek samping
dari penggunaan obat selama beberapa minggu awal pengobatan dan akan kembali
normal setelah 2-3 minggu.
Dalima Ari
Wahono Astrawinata, 2012, Pemeriksaan
Laboratrium Diagnosis Cepat TB, Jawa Barat : Departemen Patologi Klinik
FKUI
Departemen
Kesehatan RI, 2005, Pharmaceutical Care
Untuk Penyakit Tuberkulosis, Jakarta : Departemen Kesehatan RI
https://id.wikipedia.org/wiki/Tuberkulosis akses tanggal
01 Juni 2015
John Crofton,
dkk, 2002, Tuberkulosis Klinis,
Jakarta : Widya Medika
Kementrian
Kesehatan RI, 2012, Modul Pelatihan
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis TB, Jakarta : Kementrian Kesehatan RI
Longo, Fauci,
2010, Gastroenterologi & Hepatologi,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia, 2006, Tuberkulosis,
Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Sacher, McDherson,
2002, Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sulaiman Ali,
Nurul Akbar, Lesmana, Sjaifoellah, 2007, Buku
Ajar Ilmu Penyakit Hati, FKUI : Jayabadi
Werdani Retno
Asthi, 2009 Patofisiologi, Diagnosis Dan
Klafisikasi Tuberkulosis, Jawa Barat : FKUI
0 Response to "Penigkatan Kadar AST dan ALT akibat mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis"
Posting Komentar